Asal Usul Sejarah Angklung (Alat Musik)

- Terbit di Sejarah oleh - Permalink

sejarah angklung

Sahabat Aun,. Pernah dengar angklung? Alat musik tradisional yang terbuat dari bambu ini ternyata bukan kaleng-kaleng lho! Di balik alunan merdunya, terukir sejarah panjang, nilai budaya yang tak ternilai, dan legenda-legenda yang bikin speechless! Penasaran gimana asal-usul angklung? Yuk, kita selami bareng-bareng!

Apa itu angklung?

Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.

Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Dipercaya sudah dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat tersebut masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana. Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Asal usul Angklung: Menyingkap Misteri Kelahiran dan fakta dan bukti sejarahnya

Tidak ada petunjuk yang jelas sejak kapan angklung mulai digunakan. Tetapi, diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung dianggap merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.

Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung didasarkan pada pandangan hidup masyarakat Sunda saat itu yang agraris dengan sumber kehidupan dari bercocok tanam padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).

Seperti yang dilakukan Masyarakat Baduy misalnya, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi.

Selain itu, ada juga Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor. Adalah salah satu yang masih hidup sampai saat ini sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Legenda Dewi Sri dan Nyai Pohaci:

Konon, angklung diciptakan untuk menghormati Dewi Sri, dewi padi yang super keren. Di Jawa Barat, Dewi Sri diwujudkan dalam sosok Nyai Pohaci. Masyarakat Sunda percaya bahwa suara angklung dapat menarik perhatian Dewi Sri dan membuatnya turun ke bumi untuk memberikan kesuburan pada tanaman padi. Keren banget, kan? Bayangin, alat musik bisa mendatangkan dewi!

Contoh Cerita Legenda:

Salah satu legenda yang terkenal adalah legenda Purbasari dan Angklung Buncis. Cerita ini mengisahkan tentang seorang putri cantik bernama Purbasari yang dikutuk menjadi angklung karena kesombongannya. Kutukan ini bisa dipatahkan jika seorang pangeran dapat memainkan angklung dengan indah. Sang pangeran, Angklung Buncis, berhasil memainkan angklung dengan merdu dan Purbasari pun kembali menjadi manusia. Kisah ini penuh dengan nilai-nilai moral seperti kesombongan yang membawa malapetaka dan kekuatan cinta sejati.

Mitos dan Legenda yang Bikin Penasaran:

Ada banyak mitos dan legenda lain yang menceritakan asal-usul angklung. Contohnya, legenda Sangkuriang yang konon membuat kawah Tangkuban Perahu dengan menggunakan angklung raksasa. Legenda-legenda ini penuh dengan keajaiban dan nilai-nilai budaya yang menarik untuk ditelusuri.

Bukti Sejarah yang Gak Terbantahkan:

Meskipun banyak legenda yang beredar, keberadaan angklung sudah ada sejak zaman dahulu. Bukti sejarah menunjukkan bahwa angklung sudah dimainkan sejak abad ke-12. Prasasti Kawali dan catatan kuno lainnya menyebutkan tentang alat musik yang terbuat dari bambu ini. Gak cuma legenda, tapi ada bukti nyata lho!

Contoh Bukti Sejarah:

  • Prasasti Kawali, yang ditemukan di Jawa Barat, menyebutkan tentang alat musik yang terbuat dari bambu yang disebut "karinding". Karinding ini diyakini sebagai salah satu bentuk awal angklung.
  • Catatan kuno dari Belanda, seperti "Nagarakertagama" dan "Bujangga Manik", juga menyebutkan tentang alat musik yang terbuat dari bambu yang dimainkan oleh masyarakat Sunda.
  • Relief di Candi Cangkuang, Jawa Barat, menunjukkan gambar orang-orang yang memainkan alat musik yang mirip dengan angklung.

Detail Menarik:

  • Legenda Purbasari dan Angklung Buncis memiliki banyak versi dengan detail yang berbeda-beda. Dalam beberapa versi, Purbasari dikutuk menjadi angklung karena menolak lamaran seorang pangeran.
  • Bukti sejarah menunjukkan bahwa angklung dulunya digunakan dalam ritual keagamaan dan upacara adat, seperti panen padi dan pernikahan.
  • Angklung juga diyakini memiliki kekuatan magis dan dapat menyembuhkan penyakit. Contohnya, di beberapa daerah, angklung dimainkan untuk mengusir roh jahat dan menyembuhkan orang sakit.

Jenis-jenis Angklung

Angklung memiliki jenis berbeda - beda dari setiap tempat diindonesia, berikut dari jenis - jenis angklung yang ada di Indonesia.

1. ANGKLUNG KANEKES

Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy ) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata hanya untuk sekedar hiburan saja.

Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya.

Menutup acara adat angklung ini dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.

Sedangkan untuk acara sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain:

  • Lutung Kasarung,
  • Yandu Bibi,
  • Yandu Sala,
  • Ceuk Arileu,
  • Oray-orayan,
  • Dengdang,
  • Yari Gandang,
  • Oyong-oyong Bangkong,
  • Badan Kula,
  • Kokoloyoran,
  • Ayun-ayunan,
  • Pileuleuyan,
  • Gandrung Manggu,
  • Rujak Gadung,
  • Mulung Muncang,
  • Giler,
  • Ngaranggeong,
  • Aceukna,
  • Marengo,
  • Salak Sadapur,
  • Rangda Ngendong,
  • Celementre,
  • Keupat Reundang,
  • Papacangan,
  • Culadi Dengdang.

Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual saja.

Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah:

  • indung,
  • ringkung,
  • dongdong,
  • gunjing,
  • engklok,
  • indung leutik,
  • torolok,
  • roel.

Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh satu orang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.

Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.

2. ANGKLUNG DOGDOG LOJOR

Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi.

Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.

Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak).

Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya.

Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh satu orang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.

Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.

3. ANGKLUNG GUBRAG

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).

Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining sedang mengalami musim paceklik.

4. ANGKLUNG BADENG

Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi.

Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.

Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.

Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.

Selain Jenis Angklung diatas, masih banyak sekali jenis dan ragam dari Angklung ini, antara lain :

  • Angklung Indung,
  • Angklung Ambrug,
  • Angklung Panempas,
  • Angklung Pancer,
  • Angklung Enclok,
  • Angklung Badud,
  • Angklung Bungko,
  • Angklung Ciusul,
  • Angklung Padaeng,
  • angklung Sunda,

Dan masih banyak lagi jenis yang lainnya.

Angklung dalam Tradisi dan Kearifan Lokal: Lebih dari Sekedar Alat Musik

Setelah kita menyelami misteri kelahiran angklung yang penuh legenda dan bukti sejarah. Nah, berikutnya, mari kita selami lebih dalam peran penting angklung dalam tradisi dan kearifan lokal masyarakat Sunda dengan lebih detail. Gak cuma peran dalam tradisi, tapi kita juga akan bahas nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam permainan angklung. Penasaran gimana angklung nge-blend dengan kehidupan masyarakat? Yuk, simak!

Lebih dari Sekedar Alat Musik:

Angklung bukan hanya alat musik biasa. Di balik alunan merdunya, terkandung nilai-nilai budaya dan filosofi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Sunda. Angklung merupakan simbol kebersamaan, gotong royong, rasa syukur, penghormatan terhadap alam, dan masih banyak lagi.

Peran Penting dalam Berbagai Tradisi:

Angklung memainkan peran penting dalam berbagai tradisi dan upacara adat masyarakat Sunda, seperti:

  • Upacara Seren Taun: Upacara panen padi yang diiringi dengan permainan angklung untuk mengucap syukur kepada Dewi Sri. Dalam tradisi ini, masyarakat Sunda biasanya memainkan angklung dalam bentuk orkestra besar yang terdiri dari ratusan pemain. Angklung dimainkan bersama dengan alat musik tradisional lainnya, seperti gamelan dan suling, menciptakan alunan musik yang merdu dan penuh makna. Contohnya, di Saung Angklung Udjo, terdapat pertunjukan "Angklung Udjo" yang menampilkan berbagai lagu tradisional Sunda dengan menggunakan orkestra angklung.
  • Upacara Ruwatan: Upacara untuk membersihkan diri dari kesialan yang diiringi dengan permainan angklung untuk mengusir roh jahat. Di beberapa daerah Sunda, angklung dimainkan bersama dengan pawang yang memimpin ritual upacara. Contohnya, di Kampung Naga, terdapat tradisi "Ruwatan Bumi" yang menggunakan angklung sebagai salah satu alat musik dalam ritualnya.
  • Upacara pernikahan: Angklung dimainkan untuk menyambut pengantin dan memeriahkan suasana pernikahan. Dalam tradisi pernikahan Sunda, angklung melambangkan persatuan dan kesatuan antara dua mempelai. Contohnya, dalam pernikahan adat Sunda, terdapat prosesi "Mapag Pengantin" di mana pengantin diiringi dengan alunan musik angklung.
  • Upacara adat lainnya: Angklung juga digunakan dalam berbagai upacara adat lainnya, seperti Upacara Mapag Sri, Upacara Ngarot, dan Upacara Kawin Cai. Contohnya, dalam Upacara Mapag Sri di Tasikmalaya, angklung dimainkan untuk menyambut Dewi Sri yang diyakini membawa berkah kesuburan.

Nilai-Nilai Budaya yang Terkandung:

Permainan angklung menanamkan nilai-nilai budaya yang penting, seperti:

  • Kebersamaan: Angklung dimainkan secara bersama-sama, sehingga membutuhkan kerjasama dan kekompakan tim. Contohnya, dalam Upacara Seren Taun, ratusan pemain angklung harus bekerja sama dengan baik untuk menghasilkan alunan musik yang harmonis.
  • Gotong royong: Masyarakat bekerja sama dalam membuat dan memelihara angklung. Dari proses pembuatan bambu menjadi angklung, sampai dengan perawatan dan penyimpanan angklung, semua dilakukan dengan semangat gotong royong. Contohnya, di Desa Ciburial, terdapat tradisi "Ngabuburit Angklung" di mana masyarakat bersama-sama membuat angklung dari bambu.
  • Rasa syukur: Angklung dimainkan sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang berlimpah, pernikahan yang bahagia, dan berbagai peristiwa lainnya. Contohnya, dalam tradisi "Mulud" di Cirebon, masyarakat memainkan angklung untuk表达 rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.
  • Penghormatan terhadap alam: Angklung terbuat dari bambu, yang merupakan bahan alami yang dihormati oleh masyarakat Sunda. Bambu dianggap sebagai simbol kesederhanaan dan keharmonisan dengan alam. Contohnya, dalam tradisi "Kawalu" di Garut, masyarakat Sunda melarang penggunaan alat musik yang terbuat dari logam karena dianggap dapat mengganggu keseimbangan alam.
  • Nilai-nilai lainnya: Selain nilai-nilai diatas, permainan angklung juga menanamkan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan kreativitas. Contohnya, dalam proses latihan angklung, para pemain harus disiplin dan bertanggung jawab dalam menghafal lagu dan memainkan alat musiknya dengan baik.

Kearifan Lokal yang Terpancar:

Tradisi angklung mencerminkan kearifan lokal masyarakat Sunda, seperti:

  • Kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan alam: Angklung terbuat dari bambu, yang merupakan tanaman yang ramah lingkungan. Masyarakat Sunda sadar bahwa alam harus dijaga dan dilestarikan. Contohnya, dalam tradisi "Kawalu" di Garut, masyarakat Sunda melarang penggunaan alat musik yang terbuat dari logam karena dianggap dapat mengganggu keseimbangan alam.
  • Penghormatan terhadap leluhur: Angklung merupakan warisan budaya yang diwariskan oleh leluhur masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda menghormati leluhur mereka dengan menjaga dan melestarikan tradisi angklung. Contohnya, di Saung Angklung Udjo, terdapat museum yang menyimpan berbagai macam angklung kuno dan peninggalan budaya Sunda lainnya.
  • Semangat gotong royong: Masyarakat Sunda bekerja sama dalam membuat dan memelihara angklung. Dari proses pembuatan bambu menjadi angklung, sampai dengan perawatan dan penyimpanan angklung, semua dilakukan dengan semangat gotong royong. Contohnya, di Desa Ciburial, terdapat tradisi "Ngabuburit Angklung" di mana masyarakat bersama-sama membuat angklung dari bambu.
  • Nilai-nilai religius: Angklung sering digunakan dalam ritual keagamaan, seperti Upacara Seren Taun dan Upacara Ruwatan. Masyarakat Sunda percaya bahwa angklung dapat mengantarkan doa mereka kepada Tuhan. Contohnya, dalam Upacara Seren Taun, masyarakat Sunda memainkan angklung untuk mengucap syukur kepada Dewi Sri atas panen yang berlimpah.

Angklung: Warisan Budaya yang Mendunia

Yo, peeps! kita udah menyelajahi misteri kelahiran angklung, peran pentingnya dalam tradisi dan kearifan lokal masyarakat Sunda, dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Nah, di bagian ini, mari kita menyelami lebih dalam tentang perjalanan angklung sebagai warisan budaya yang mendunia.

Menembus Batas Sunda:

Popularitas angklung tak hanya terpaku di tanah Sunda. Seiring waktu, angklung mulai dikenal di berbagai penjuru Indonesia, bahkan hingga ke mancanegara. Berbagai upaya dilakukan untuk memperkenalkan angklung kepada dunia, seperti:

  • Pertunjukan internasional: Saung Angklung Udjo dan berbagai grup angklung lainnya telah tampil di berbagai negara di seluruh dunia, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Asia. Contohnya, Saung Angklung Udjo pernah tampil di Kennedy Center, Washington D.C., Amerika Serikat, dan di Esplanade - Theatres on the Bay, Singapura. Pada tahun 2023, Saung Angklung Udjo diundang untuk tampil di Edinburgh International Festival, salah satu festival seni terbesar di dunia.
  • Workshop dan pelatihan: Banyak workshop dan pelatihan angklung yang diadakan di berbagai negara untuk mengenalkan alat musik ini kepada masyarakat internasional. Contohnya, Saung Angklung Udjo regularly holds workshops and trainings for international participants at their cultural center in Bandung, Indonesia. Selain itu, berbagai universitas di luar negeri, seperti University of California, Berkeley, dan SOAS University of London, menawarkan program studi tentang musik dan budaya Sunda, di mana angklung menjadi salah satu fokus utama.
  • Diplomasi budaya: Angklung sering digunakan sebagai alat diplomasi budaya untuk memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Contohnya, Kementerian Luar Negeri Indonesia sering menggunakan angklung sebagai hadiah untuk para pemimpin negara lain, seperti Presiden Barack Obama dan Perdana Menteri Shinzo Abe. Pada tahun 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia bekerja sama dengan KBRI Belanda untuk menyelenggarakan "Festival Angklung Internasional" di Amsterdam, yang dihadiri oleh berbagai delegasi dari berbagai negara.

Pengakuan Dunia:

Upaya-upaya tersebut tak sia-sia. Angklung mendapatkan pengakuan dunia sebagai warisan budaya yang tak ternilai. Berikut beberapa pengakuan internasional yang diraih oleh angklung:

  • UNESCO Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity: Angklung dinobatkan sebagai salah satu Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh UNESCO pada tahun 2010. Penobatan ini merupakan pengakuan UNESCO terhadap nilai budaya dan tradisi yang terkandung dalam angklung.
  • Asia-Pacific Intangible Cultural Heritage: Angklung juga diakui sebagai Asia-Pacific Intangible Cultural Heritage oleh UNESCO pada tahun 2014. Pengakuan ini memperkuat posisi angklung sebagai salah satu warisan budaya yang paling penting di kawasan Asia Pasifik.
  • Penghargaan lainnya: Angklung telah menerima berbagai penghargaan internasional lainnya, seperti Golden Prize di World Music Festival di Belanda pada tahun 1982 dan penghargaan IMC-UNESCO Prize for the Excellence of Music Education di Paris pada tahun 2013. Penghargaan-penghargaan ini menunjukkan bahwa angklung diakui sebagai alat musik yang unik dan memiliki nilai estetika yang tinggi.

Dampak Positif:

Popularitas angklung di dunia membawa dampak positif bagi Indonesia, seperti:

  • Promosi budaya: Angklung membantu mempromosikan budaya Indonesia kepada dunia. Pertunjukan angklung di berbagai negara telah menarik perhatian banyak orang dan meningkatkan minat mereka untuk mempelajari budaya Indonesia.
  • Pariwisata: Popularitas angklung menarik wisatawan asing untuk datang ke Indonesia dan melihat pertunjukan angklung secara langsung. Saung Angklung Udjo, misalnya, menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Bandung, Jawa Barat.
  • Pendidikan: Angklung digunakan sebagai alat edukasi untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada generasi muda. Banyak sekolah di Indonesia yang memasukkan angklung sebagai bagian dari kurikulum pendidikan seni.
  • Ekonomi: Industri kreatif angklung berkembang pesat dan membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat. Pembuatan angklung, penjualan souvenir, dan penyelenggaraan pertunjukan angklung menjadi sumber pendapatan bagi banyak orang.

Tantangan dan Harapan

Meskipun telah mendunia, angklung masih menghadapi beberapa tantangan, seperti:

  1. Kurangnya regenerasi: Generasi muda perlu didorong untuk mempelajari dan melestarikan angklung. Di era digital ini, banyak generasi muda yang lebih tertarik dengan budaya populer dan gadget daripada dengan tradisi. Upaya perlu dilakukan untuk menarik minat generasi muda terhadap angklung, seperti memasukkan angklung ke dalam kurikulum pendidikan dan mengadakan kegiatan yang menarik bagi generasi muda.
  2. Komersialisasi: Popularitas angklung dapat menyebabkan komersialisasi yang berlebihan. Hal ini dapat berdampak pada nilai budaya dan tradisi yang terkandung dalam angklung. Penting untuk menjaga keseimbangan antara komersialisasi dan pelestarian nilai budaya.
  3. Kurangnya dokumentasi: Dokumentasi tentang sejarah, tradisi, dan pembuatan angklung masih terbilang minim. Hal ini dapat menyulitkan upaya pelestarian angklung di masa depan. Perlu dilakukan upaya untuk mendokumentasikan secara lebih lengkap tentang angklung.

Harapan:

Meskipun ada berbagai tantangan, ada banyak harapan untuk masa depan angklung. Berikut beberapa harapan tersebut:

  • Meningkatnya minat generasi muda: Diharapkan generasi muda semakin tertarik untuk mempelajari dan melestarikan angklung.
  • Pelestarian nilai budaya: Diharapkan nilai budaya dan tradisi yang terkandung dalam angklung dapat terus dilestarikan.
  • Pengembangan industri kreatif: Diharapkan industri kreatif angklung dapat terus berkembang dan membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat.
  • Pengakuan internasional: Diharapkan angklung mendapatkan pengakuan internasional yang lebih luas dan menjadi simbol budaya Indonesia yang mendunia.

Masa Depan Angklung: Sebuah Refleksi dan Ajakan Bertindak

Angklung telah menempuh perjalanan panjang dan penuh makna. Dari akarnya di tanah Sunda, angklung telah menjelma menjadi warisan budaya yang mendunia. Popularitasnya terus meningkat, membawa dampak positif bagi Indonesia dalam berbagai aspek.

Namun, di balik gemerlapnya popularitas, angklung juga dihadapkan pada berbagai tantangan. Kurangnya regenerasi, komersialisasi, dan minimnya dokumentasi menjadi batu sandungan yang perlu diatasi.

Masa depan angklung bergantung pada upaya kolektif kita. Kita perlu bersatu untuk melestarikan warisan budaya ini dan memastikannya terus berkembang di masa depan. Berikut beberapa ajakan bertindak yang dapat kita lakukan:

  • Meningkatkan minat generasi muda:

    • Mengadakan workshop dan pelatihan angklung di sekolah dan komunitas.
    • Menggabungkan angklung dengan musik modern dan teknologi digital.
    • Menciptakan konten kreatif tentang angklung di media sosial.
  • Melestarikan nilai budaya:

    • Mendokumentasikan sejarah, tradisi, dan pembuatan angklung.
    • Mendorong para seniman dan budayawan untuk terus berkarya dengan angklung.
    • Menyelenggarakan festival dan pertunjukan angklung secara rutin.
  • Mengembangkan industri kreatif:

    • Mendukung para pengusaha kreatif yang memproduksi content-content yang berkaitan dengan angklung.
    • Membuka peluang audiens baru untuk content-content angklung di dalam dan luar negeri.
    • Mengadakan pelatihan dan edukasi bagi para pelaku industri kreatif angklung.
  • Mendapatkan pengakuan internasional:

    • Mempromosikan angklung di berbagai forum internasional.
    • Bekerja sama dengan organisasi internasional untuk melestarikan angklung.
    • Mengusulkan angklung sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Kesimpulan:

Angklung bukan hanya alat musik biasa. Angklung merupakan warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda. Tradisi angklung mencerminkan rasa syukur terhadap alam, penghormatan terhadap leluhur, semangat gotong royong, dan nilai-nilai religius. Angklung adalah aset budaya yang harus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus.

Masa depan angklung ada di tangan kita. Marilah kita bergandengan tangan, bahu membahu, untuk menjaga warisan budaya ini agar tetap lestari dan mendunia. Angklung bukan hanya milik masyarakat Sunda, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia. Mari kita jaga dan lestarikan bersama!

Sumber: